PENDAHULUAN..
Assalamu'alaikum wr.wb..
Pembicaraan
(lebih tepat silang pendapat) seputar psikologi islami di Indonesia,
bisa dikatakan masih sebatas lontaran-lontaran pemikiran. Urun gagasan
ini terasa belum menggigit sampai tataran ilmiah yang diharapkan, namun
demikian beberapa pendahuluan karya-karya yang masih deskriptif ataupun
try and error mulai bermunculan. Beberapa karya boleh disebutkan disini
seperti : Dilema Psikologi Muslim, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, Nafsiologi,
Integrasi Psikologi dengan Islam, Psikologi Qur’ani. Paradigma
Psikologi Islami dan beberapa karya tulisyang tersebar dalam berbagai
jurnal dan media.
Meskipun karya-karya
tersebut mulai saling terkomunikasikan, namun saya melihat masih
terdapat “kemandegan” dibandingkan islamisasi ilmu pengetahuan pada
bidang-bidang lainnya. Secara garis besar dapat saya rangkum persoalan
yang masih menyelimuti “kemandegan” pengembangan psikologi Islami,
yaitu :
- Berkaitan
dengan Istilah yang dipakai untuk mewakili secara “pas” tentang
idea-idea. (dalam makalah ini saya menggunakan istilah “Psikologi
Islami”
- Proses
pemwujudan “bangunan” psikologi yang dikehendaki. Disini dapat saya
pisahkan menjadi: Westernisasi Islam Vs Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan
di satu pihak lain meragukan keduanya karena Ilmu adalah Islami.
- Keinginan
sebagian pihak menghendaki dibangunnya suatu “Grand theory” yang murni
dibangun dari “Istilah-aksioma-dalil” dari dua sumber utama Al Qur’an
dan Hadits serta hasil pemikiran tokoh Islam (khususnya sufi dan
thoriqot) dan bukan menjadi “tukang” yang mengintegrasikan berbagai
teori-teori Psikologi Barat (Asing) dengan “mengaduk-aduk” dengan semen
ayat-ayat atau hadits-hadits.
- Kurangnya
dialog intensif dan “high level” dalam tataran ilmiah, serta dukungan
berbagai pihak yang masih berjalan sendiri-sendiri. Ketiadaan lembaga
penterjemah buku-buku berbahasa asing (Inggris dan Arab) yang dapat
mempercepat keterlibatan mahasiswa dan alumnus psikologi ke dalam
kancah perdebatan. Keterlambatan dan kelambanan informasi ini
menyebabkan sebagian dari kita-peminat psikologi islami hanya
mengandalkan pada saduran-saduran naskah yang tercecer di berbagai buku.
Sehubungan dengan thema kita tentang psikologi islami menghadapi abad
21, maka tentu saja tidak bisa terlepas dari berbagai perdebatan,
bahkan saya melihat bahwa pembahasan kita saat ini, aplikasi psikologi
islami terlampau “lompat pagar” (atau terlalu cepat) diperbincangkan
dari persoalan utama : teori-teori dasar psikologi, yang selama ini
menjadi “dinamo”-nya Psikologi : Behavioristik, Ketidaksadaran
(Psikoanalisis), Humanistik. Hingga kini belum dapat dikatakan selesai
“bangunan teori” yang khas islami.
Sebagai sebuah gagasan yang dapat memicu untuk melahirkan runtutan
tanggapan, maka memperluas muatan diskursus psikologi islami ini tentu
dapat terus dilanjutkan. Setidaknya, lontaran ini menjadi tambahan
pertimbangan atas aksiologis-pragmatis tentang perlunya psikologi
islami dalam menghadapi tantangan perubahan masa depan.Tantangan dan Peluang Psikologi Islami
Sejak tahun 1980-an telah bermunculan berbagai prediksi abad 21.
Beberapa tokoh futurolog seperti John Naisbit telah meramalkan berbagai
perubahan dunia dan perilakunya. Pada saat yang bersamaan telah lahir
orde baru di dunia filsafat: Post modernisme. Kita juga terhenyak
dengan berbagai pembentukan organisasi regional dan global, seperti
isue globalisasi semakin mengental dengan pencapaian teknologi
informasi. Tidak ketinggalan kehadiran AFTA, NAFTA, WTO dengan isue
pasar bebas dan pasar global. Dalam ketidaksiapan menghadapi
pertarungan yang belum seimbang antara dunia Islam dengan Barat,
diakhir penghujung 1996 juga telah lahir sebuah buku brilian dari
seorang politikus dan juga Profesor di Harvard University, Amerika,
Samuel P. Huntington dengan bukunya “The Crash of Civilization”.
Huntington secara simplitis meramalkan bahwa peta peradaban dunia
(seluruh aspek kehidupan) akan berubah menjadi tiga sekte besar :
Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat dan pikiran
kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur)
dan Kristen mewakili (budaya dan masyarakat) dunia Barat dan Europa,
serta Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.
Hipotesis Huntington ini cukup mendapat reaksi keras dari berbagai
tokoh dunia, bahkan menuduhnya sebagai agen Yahudi yang mencoba menarik
peta dunia agar terpecah menjadi tiga, bahkan sangat mungkin menjadi
dua kekuatan besar, yaitu Islam versus Kristen, karena yang ketiga
(Konfusian) turut berpihak dan bersepakat pada Islam. Nampaknya secara
sederhana, hipotesis Huntington ini menggugat semangat universalisme
dan persatuan dunia. Bahkan dianggap sebagai pemicu perselisihan di
beberapa negara yang heterogenitas agamanya terkadang menghangat
menjadi pertentangan dan peperangan.
Sementara
itu F. *****uyama (1996) seorang pejabat kementrian luar negeri Amerika
Serikat yang berkebangsaan Jepang, malah mengomentari tentang abad
mendatang sebagai abad Kapitalisme dan Liberalisme, kedua isme tersebut
dipandangnya sebagai puncak keunggulan manusia dalam peradaban.
Hipotesisnya ini didasarkan pada keyakinan bahwa arah dari seluruh
usaha manusia adalah kebebasan dan demokrasi.
Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut,
kita sebagai Psikolog muslim patut urun-renungan, bagaimana jika hal
ini benar terjadi ? Sebab pertarungan pasca perang dingin tidak lagi
didominasi Demokrasi (Kapitalistik) dan Komunisme, atau Nato-Europa dan
Pakta Warsawa (Uni Sovyet-al maut). Setelah runtuhnya Komunisme maka
musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam.
John, L. Espasito (The Islamic Threat, Miyth or Reality, 1992), justru
menanggapi perubahan di masa mendatang. Ia menyatakan bahwa yang akan
berhasil dalam mengarungi jaman adalah mereka yang modern sekaligus
juga memiliki keyakinan terhadap prinsip-prinsip. Kemampuan di bidang
penguasaan ilmu dan teknologi harus juga disikapi dengan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip yang diyakini.Sebagai suatu ancang-ancang
menghadapi dunia perubahan yang belum jelas arahnya, maka tidak salah
jika kita juga mencermatinya, kita siap sebagai bangsa yang dapat
berkompetisi global tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip kita yang
diyakini pasti benar, sebagai wujud iman kita pada Islam.
Secara tegas sesungguhnya Allah telah menetapkan adanya pertentangan
antar ideologi dan msayarakat besar : Mu’minin Vs Kafirin, Musyrikin,
Munafiqin. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa abad XV hijriyah
adalah abad kebangkitan Islam yang ditandai oleh suatu gelombang besar
dalam hal penguasaan sains dan teknologi yang diislamisasi. Jika kita
mengaca kepada Psikologi maka bisa jadi akan terjadi saling tarik
menarik dan saling pengaruh mempengaruhi untuk muncul mendominasi dunia
ilmu pengetahuan di bidang psikologi : Psikologi Islami Vs Psikologi
Barat (Non-Islami) dan di satu pihak Psikologi Timur (Taoisme-China).
Bisakah semangat persaingan ini juga memicu kebangkitan Islam di bidang
ilmu psikologi ?
Benarkah psikologi berseberangan dengan agama (Islam) ?
Untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya tidak mudah, kesulitannya bersumber pada tolok ukur apa yang akan dipakai ?
a.
Apakah psikologi ditinjau secara keseluruhan, tanpa memilah-milah ?
b. Apakah psikologi dipandang sebagai proses yang terus berlanjut ?
c. Apakah Psikologi dipandang sebagai hasil akhir ?
Menjawab
pertanyaan point a :Psikologi itu ibarat hutan yang begitu bersimpangan
berbagai pendapat, mulai dari persoalan filsafati, paradigma, teori,
metoda. Mulai dari diagnosa, analisa hingga terapi. Ribuan alat tes
terus lahir ada yang direvisi, ada yang paforit digunakan, tidak
terpakai, kurang peminat, rumit dan simple. Tentunya dengan melihat
begitu banyaknya kajian yang berserakan di hutan Psikologi, alngkah
tidak simpatiknya menggelari Psikologi sebagai ilmu tidak Islami.
Psikologi adalah hutan ilmu yang terbuka untuk diambil dan dimasuki.
Sehingga jika kita mau bahkan bisa menciptakan hutan Psikologi sendiri
yang tidak ada hubungannya dengan hutan sebelumnya!
Upaya telaah yang dilakukan tentu harus memilah-milah ! dan untuk
memilah-milah betapa beratnya. Waktu dan tenaga serta konsekuensinya
hanya sebagai pengkritik dan tidak sempat membangun.
Sebagian besar dari psikologi Barat, memang memisahkan Tuhan dari
pengalaman subyektif manusia. Pengalaman subyektif-religius ini masih
dipandang sebagai bukan ilmiah. Kalau mau diilmiahkan harus memenuhi
standar ilmiah : Logis-rasional-empiris.
Barangkali standar ilmiah itulah yang harus diperbaharui. Standar
ilmiah yang sekarang ini digunakan karena “diyakini”. Jadi masalah
menerima atau tidak standar ilmiah tersebut sangat ditentukan seberapa
besar seseorang menerimanya dengan yakin.
Menjawab pertanyaan b :
Sebuah
penemuan di dunia ini jarang yang bersifat akhir, karena dia bukanlah
Wahyu yang sudah final dan essensial. Berbagai penemuan ilmiah
sekalipun tidaklah pernah berakhir, bahkan bisa dikatakan selalu
memulai. Prinsip *****ulative, dan corrective dari ilmu menyebabkan ia
selalu terbuka dan bersedia diri berubah. Ilmu selalu berkelanjutan.
Konsistensi pemikiran sebelumnya yang sudah diakui dapat dipergunakan,
tetapi juga bisa jadi dibantah dan diperbaiki sama sekali apabila ada
dasar yang lebih bisa diterima oleh masyarakat ilmiah. Nabi
Ibrahim AS, adalah sosok contoh seorang yang berproses untuk menemukan
kebenaran (haqul Yaqin). Pada tahap permulaan Ibrahim menemukan
kebenaran berdasarkan indrawi mata. Ia baru menyadari akan kelemahan
objek yang dijadikan Tuhan setelah menemukan fakta baru yang tidak
logis, ia kemudian menemukan kembali melalui proses pencarian, Ia
berganti matahari yang lebih ajek dalam memberikan cahayanya, tetapi
juga gagal hanya karena pada malam hari seolah lenyap dari pandangan.
Ia menggunakan rasio-nalar “bagaimana mungkin Tuhan ada dan hilang ?”
Akhirnya ia menemukan kebenaran itu melalui mata hatinya
(intuisi-metaempiris). Akankah kita mengatakan bahwa Ibrahim adalah
seorang yang kufur lalu jadi muslim ?
Peristiwa Ibrahim ini memberikan gambaran bahwa kita tidak perlu
terlalu cemas atas “ketiadaan Tuhan” dalam beberapa teori psikologi,
selama manusia masih terus memerlukannya. Sebab Kebenaran pasti Menang.
Tinggal bagaimana Ia datang dan mengalahkan kebathilan ! Psikologi yang
berpihak kepada kebenaran Islam pasti akan datang, hanya proses itulah
yang sedang kita jalani.Melihat psikologi sebagai proses, maka tidaklah
salah jika kita menggunakannya selama memperoleh manfaat. Artinya
psikologi digunakan untuk sementara dalam membantu memecahkan persoalan
kemanusiaan. Dari psikologi barat inilah barangkali lahir psikologi
Islam. Kata dan istilah “Psikologi” sendiri tidak pernah ada dalam
sejarah Islam salaf. Psikologi baru dipermasalahkan setelah kita
mengenal beberapa kelemahannya dilihat dari prinsip Islam. Bahkan
secara ekstrim menyebut “Psikologi jahiliyah modern”. Saya ingat
perkataan Umar Ra. “Orang yang tidak mengenal jahiliah maka ia tidak
akan mengenal Islam. Artinya kehadiran psikologi Barat telah cukup bagi
psikolog muslim untuk juga mengenal psikologi Islami. Sebagai
pembanding yang akan ditilik keunggulan dan kelemahannya, harus kita
akui psikologi barat telah memberi andil yang besar bagi kelahiran
psikologi Islami.
Menjawab pertanyaan c:
Kalau ada yang yakin bahwa mobil Timor S 515 adalah produk terakhir
dari teknologi KIA Motor, jelas salah besar. Demikian juga yang
mengatakan bahwa proses penciptaan langit ini berhenti dan sudah ajeg
juga salah. Allah mengatakan senantiasa membinanya ). Seseorang yang
dalam pencapaian pengetahuannya final hanyalah orang yang mati !
hakekat pengetahuan memang tidaklah berhenti. Demikian juga dengan
psikologi, psikolog yang yakin bahwa hasil-hasilnya yang sekarang ini
merupakan hasil akhir yang tidak berkembang dan kebenaran ilmunya
dipandang berakhir, bolehlah ia digelari psikolog yang almarhum.
Psikologi Islami sendiri sedang mencari bentuk, tentu saja kita harus
hormat terhadap banguan psikologi yang ada.
Kebenaran Wahyu itulah yang ajeg karena ia prinsip hidup yang tidak
bisa berubah. Penafsirannya yang belum tentu ajeg. saya yakin bahwa
psikologi islami pun tidak ajeg karena ia adalah sebuah penafsiran
terhadap manusia dan terhadap ayat-ayat Allah. Kebenaran suatu
penafsiran itulah yang harus diakui sebagai relatif. Penafsiran yang
manakah yang harus diakui? Allah menyatakan dalam Al Qur’an :
Sesungguhnya, kewajiban Kamilah mengumpulkan (alQur’an) di hatimu
(Muhammad) dan membuatmu pandai membaca )……Kamilah yang memberikan
penjelasannya ). Jadi hanya Muhammad sajalah yang memahami betul isi
kandungan Al Qur’an dan penafsirannya dan itu kita hanya mengetahui
dari Hadits dan Sunnah serta para pewaris risalah Islam (para ulama).
Jelas, bukan penafsiran tanpa konsistensi dengan penafsiran sebelumnya.
NISBAH : Psikologi dan Islam
Setiap ide baru akan selalu mengundang reaksi pro dan kontra. Tak
terlepas dengan ide islamisasi psikologi dan musliminisasi psikolog.
Apalagi ide tersebut menggugat sesuatu yang berkaitan dengan profesi
(sebagai lahan hidup) serta nilai-nilai pribadi. Kecurigaan terhadap
psikologi Barat yang telah mencabut manusia sebagai makhluk Tuhan dan
kadang (psikoanalisa) menuduh aktivitas keagamaan adalah perbuatan
kompensasi yang tidak ada dasar ketulusan mendasar sebagai seorang
manusia, telah melahirkan sebutan-sebuatan yang agak sarkasme :
“Psikologi ilmu sesat dan menyesatkan” atau “Psikologi ilmu skuler”
sampai sebutan yang agak halus “ Psikologi ilmu perilaku yang tidak
perlu dihubung-hubungkan dengan agama, agama ya agama, psikologi ya
psikologi”. Lontaran pemikiran Malik B. Badri cukup membuat kepanasan
kuping para psikolog yang sudah “terlalu yakin atas kebenaran dan
kehandalan alat tes dan analisis psikologi”. Siapa yang mau dituduh
tidak islami ?
Siapa yang rela disebut psikolog anti agama ?
Dua pertanyaan itu tentu diajukan kepada psikolog muslim ! sedangkan
bagi mereka yang tidak muslim tentu tidak merasa peduli dengan
psikologi islami atau bukan. Mungkin mereka mengkhatirkan adanya
psikologi Kristiani, psikologi Hindi, Psikologi Kejawen, Psikologi
Yahudi!
Jadi masalahnya adalah seputar keyakinan psikolog muslim yang belum
sepenuhnya puas dengan psikologi bila diukur berdasarkan norma-norma
ajaran Islam !
Lantas dimana ke-universalannya bila psikologi dilabeli Islami?
Sebelum menjawabnya, saya balik bertanya “Apakah setiap teori
psikologi seutuhnya universal?” Kenyataannya tidaklah ada teori yang
bisa sepenuhnya dapat diterapkan untuk semua manusia. Teori Freud tidak
dapat sepenuhnya universal sebab ia tidak bisa diterapkan pada orang
yang muslim atau diterapkan pada orang yang tidak meyakini kehandalan
psikoanalisisnya. Teori Maslow juga tidaklah universal karena dia tidak
dapat menjelaskan motivasi lillahi ta’alanya seorang muslim, atau
berbuat karena Yesus, Motivasi Maslow belum menyentuh aspek ruhaniah.
Adalah wajar, jika banyak tokoh yang merasa tidak puas lalu memunculkan
teori baru yang dipandang bisa universal, bahkan bukan saja universal
melainkan juga “totalitas”, artinya bisa mencakup seluruh aspek manusia
dan tidak memilah manusia dengan kategori (domain) yang masih tidak
menggambarkan manusia seutuhnya. Akhirnya, keuniversalan dan
kemangkusan psikologi lebih disebabkan karena diyakini dan diterima
oleh masyarakat ilmiah pada jamannya. Ketika ditemukan
kekurang-mangkusan untuk menjelaskan manusia maka kepercayaan terhadap
teori tersebut berkurang dan sebagai rasa hormat kepada penemunya
dijadikan sebagai literatur atau referensi perkembangan ilmiah. Saya
melihat bahwa bukanlah keburukan bila orang melahirkan karya, berupa
teori tentang psikologi, sekalipun terbukti salah atau kurang sempurna,
itulah hakekat manusia : ia selalu tidak mampu menggambarkan dirinya
secara sempurna !
Dalam
buku “ Man, The Unkonw” digambarkan betapa manusia sudah frustrasi
mengetahui siapa dirinya. Padahal manusia sudah bermilyar banyaknya.
Setiap orang pernah bertanya siapa dirinya. Ia pernah mengeluarkan
pendapatnya sendiri, bahkan ada yang pendapatnya diyakininya hingga
menemui kematian. Barangkali sesudah kematian itulah manusia tahu yang
sesungguhnya siapa sebenarnya dirinya!
Emha Ainun Najib dalam satu essainya pernah menulis “ Berpuluh-puluh
tahun manusia telah gagal mengenali siapa dirinya”. Sebaliknya saya
menduga manusia akan selalu gagal mengenali dirinya.Manusia memiliki
“Ruh” yang menjadi misteri sepanjang kemanusiaan. Ruh ini adalah
rahasia tak terjawab. Penggambaran tentang ruh selalu berubah.
Barangkali Ruh itu sesungguhnya akan dikenali dengan seutuhnya manakala
kita mencapai kematian.
Allah berfirman : “ Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Maka Jawablah
Ruh itu urusanKu, Tidaklah pengetahuanmu tentangnya melainakn sedikit”
). Dari yang sedikit itupun tentu bukan dicari sendiri karena Allah
sendiri yang mengajarkan tentang ruh. Dalam peristiwa keraguan Nabi
Ibrahim As tentang adanya Allah. Allah mengajarkannya melalui peniupan
roh ke dalam cincangan daging burung. Pelajaran peniupan Roh ini
ternyata memperkuat iman yang sudah ada pada diri Ibrahim. Tidaklah
salah jika psikologi Islami memasukkan unsur Ruh dalam kajiannya dengan
maksud menemukan hakekat keberadaannya.
Islam memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mempertanyakan
siapa dirinya. Bahkan Allah sangat menghargai pertanyaan siapa manusia
itu dan kenapa manusia itu diciptakan. Malaikat yang bernada protespun
tidaklah dipandang hina, asal tidak bermaksud mengkufuri. Keraguan
(meragukan) untuk semakin beriman adalah sah-sah saja. Rasulullah
sendiri pernah mengalami keraguan tentang apa yang telah diturunkan
kepadanya, kemudian ia diharuskan bertanya kepada Orang yang telah
mengetahui Kebenaran (Waroqoh bin Naufal), sehingga barulah Allah
menyruhnya agar jangan menjadi orang yang ragu. Proses dari keraguan
menjadi iman adalah diijinkan dan dibenarkan. Dan itu proses pencarian
pengetahuan kebenaran. Jadi wajar pula bila seseorang yang mempelajari
psikologi Barat kemudia meragukannya, untuk kemudia menjadi yakin
setelah mengalami proses “bertanya” tentang kebenaran. Islam merupakan
sumber Kebenaran, luas sekali membuka gerbang pengetahuan. Al Qur’an
menantang kepada manusia untuk bisa menjelajahi langit dan dalamnya
bumi. “Hai jin dan manusia, jika kamu mampu menembus langit dan bumi,
lakukanlah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” .
Kekuatan yang digambarkan tersebut tentu bukan saja kekuatan teknologi
dan peralatan tetapi juga kekuatan manusianya. Untuk mengenal
kekuatannya manusia juga perlu mengenal kelemahannya ketika berhadapan
dengan alam raya yang akan dijelajahinya. “Dan akan kami perlihatkan
ayat-ayat Kami dilangit dan di bumi serta pada dirimu sendiri.”
Banyak nian Al Qur’an mengungkap persoalan kemanusian dan diri
manusia. Dan diyakini statement Al Qur’an dan Sunnah sebagai kebenaran.
Dari sesuatu yang benar, kita dapat melahirkan proses yang benar, hasil
yang benar serta manfaat yang benar pula. Dari cara pandang tentang
Tuhan-alam-manusia yang benar, melahirkan pendekatan ilmiah yang benar,
menurunkan bangunan teori yang benar, metode yang benar dan manfaat
aplikasi yang benar. Sehingga ujungnya skesejahteraan manusia yang
sesungguhnya lah yang menjadi tujuan akhir dari psikologi islami.
Selamat dunia dan akhirat. “Dan dengan Kebenaran Kami menurunkan Al
Qur’an dan dengan proses yang benar Kami turunkan Al Qur’an, Tidaklah
Kami mengutusmu melainkan sebagai Pemnberi kabar gembira (reward
kebaikan) dan pemberi peringatan (ancaman keburukan).